Politik Kebangsaan Indonesia Raya Menyongsong Indonesia Emas

Mengawal Pancasila

December 23, 2022 | Dilihat 218 | Author soksiber
Suhardiman  (tokoh.id)
Suhardiman (tokoh.id)

Ever onward, never retreat! Itulah jejak politik Suhardiman yang dicirikan atas yel-yel Maju Terus Pantang Mundur. Yel-yel itu bagaikan benang merah yang merangkai perjalanan politik Pendiri SOKSI itu menapaki empat era Presiden Sukarno, Presiden Suharto hingga Presiden Joko Widodo.

Kalimat Maju Terus Pantang Mundur terucap tatkala Presiden Republik Indonesia ke-1 menyampaikan “amanat tahun”.  Di atas “podium rakyat” itu, Bung Karno The Founding Fathers, proklamator sekaligus Presiden RI itu berpidato, dengan suaranya yang akrab di telinga rakyat pada tanggal 17 bulan Agustus tahun 1964.

Proklamator itu berucap: “Tiap 17 Agustus mempunyai arti-pentingnya sendiri, signifikansinya sendiri yang khusus. Di antara bulan-bulan yang duabelas itu, Agustus adalah yang terkeramat bagi kita. Amerika dan Perancis mengkeramatkan bulan Julinya, Tiongkok dan Sovyet-Unie mengkeramatkan bulan Oktobernya, kita mengkeramatkan bulan Agustus, bulan Proklamasi.”

Keramatnya Amerika, ketika 13 koloni Inggeris di Amerika sepakat menandatangani Deklarasi Kemerdekaannya pada tahun 1776. Kini manifestasi ide itu menjadi forma liberalisme pada negara yang menganut demokrasi liberal yang didukung oleh lima puluh negara bagian. Manifestasi “Keramat” kebebasan itu pula yang menjiwai Revulusi Perancis: liberté – égalité – fraternité (kebebasan – kesetaraan – persaudaraan).

Runtuhnya monarki dan melemahnya dominasi Gereja, dampak liberalisasi dari Revolusi Juli di Perancis itu, menyemangati revolusi Rusia yang berawal di Bolshevik yang menandai munculnya Komunisme. Sedangkan Revolusi Cina atau Revolusi 1911 (Revolusi Xinhai) menandai bangkitnya nasionalisme Cina.

Jika Bung Karno berkata; ““l’exploitation de l’homme par l’homme,” yakni perampasan hak manusia yang satu oleh manusia yang lain, dengan demikian, sesungguhnya Bung Karno telah menyampaikan apa itu substansi kebebasan. Eksistensi atas aksidentalitas bangsa, itulah esensi atau intisari pidato Bung Karno tahun 1964 itu.

“17 Agustus 1945 saya membacakan Proklamasi Kemerdekan. Kemudian daripada itu, delapan-belas kali 17 Agustus saya telah memberikan “amanat-tahunan”. Sekarang, 17 Agustus 1964, buat kesembilanbelas kalinya saya memberikan “amanat-tahunan” itu, demikian bunyi Pidato Keramat Presiden Sukarno di tahun Vivere Pericoloso itu.

Bung Karno memaknai keramatnya 17 Agustus 1964 itu dengan angka sembilan belas, jumlah angka dalam basmallah. Simbolisasi keramat atau suci (sacred) yang sesungguhnya atas eksistensi bangsa Indonesia. Selain angka,maka forma dari ide negara dari bangsa yang merdeka yaitu Pancasila, jauh hari telah pula disodorkannya kepada peserta Sidang BPUPKI.

Alhasil Bung Karno telah melengkapi arti dari eksistensi suatu bangsa, selain dari materi, penduduk beserta segenap kekayaan alam bumi, air dan angkasa yang dimilikinya.

Suhardiman menyimak pesan yang disampaikan Pemimpin Revolusi itu dengan sebaik-baiknya. Di telinganya masih terngiang yel-yel “Sekali Merdeka Tetap Merdeka, yang membuatnya bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan dengan meniti karir militer serta meninggalkan mimpinya untuk menjadi guru.

Setahun kemudian, sebagai Anggota Kompi Pengawal Panglima Soedirman, Suhardiman bertekad untuk “Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung” membela dan mempertahankan kemerdekaan. Sesuai dengan “amanat-tahunan,” Pidato Presiden Sukarno pada peringatan tahun ke-2 Proklamasi.

Suhardiman adalah bagian dari sokoguru revolusi, yang memimpin ribuan karyawan perusahaan negara yang bergerak di bidang perkebunan. “Ya, tahun menyérempet bahaya, Vivere Pericoloso,” katanya dalam hati. Pikirannya menelusuri masa-masa revolusi fisik yang telah dilaluinya.

Hatinya berdentak kencang, rabaan pikirannya menghentak hatinya ketika terbentur pada paradigma revolusi mental dan revolusi moral. Itu adalah bunyi “amanat-tahunan” Presiden Sukarno tahun 1956. Yakni arah-hidup dan isi-hidup, demikian ulasan Bung Karno ketika itu, mengurai apa itu revolusi mental dan revolusi moral.

Wacana senada, yang sudah tidak asing lagi ditelinganya.  Suhardiman pernah dekat dengan Bapak-bapak Pendiri Bangsa, seperti para tokoh-tokoh tradisionalis, seperti Supomo, Husen Djajadiningrat, Mohammad Yamin dan, khususnya tentu saja dengan Ki Hajar Dewantara.

Sebagai Kepala Sekretariat KSAP (Kepala Staf Angkatan Perang) Suhardiman melayani kebutuhan administratif para Bapak-bapak Pendiri Bangsa itu ketika mereka merumuskan Sapta Marga di tahun 1951. “Hai saudara-saudara! Lihat! Peristiwa-peristiwa di belakang kita ini, “ begitu bunyi pidato Bung Karno, namun tiba pada kata-kata,“ Dan selanjutnya juga selalu saya lantas mengajak Rakyat untuk melihat ke muka,” Suhardiman paham, bahwa dia mesti segera merumuskan doktrin perjuangan SOKSI. [Pelor]

Baca Juga

News Feed

Pesta Rakyat dan Pentas Siliwangi

Siswa-siswi SMPS/SMAS IT Al-Gofar Bandung bersama Sertu Adi Prayitno Babinsa (Bintara Pembina Desa) Kampung Cisanggarung…

Usik SOKSI

“Kita itu punya nyali,” demikian jelas Pak Hardiman pada Majalah Tokoh Indonesia, ketika menguraikan dinamika…

Golongan Fungsional

Golongan funsional itu adalah akibat, bukan sebab. Akibat yang muncul disebabkan Anggota-anggota DPR hasil Pemilu…

Feature

rt1

Berita

Visitor

Online : 9
Today : 20
Yesterday : 20
Total : 5793