Politik Kebangsaan Indonesia Raya Menyongsong Indonesia Emas

Di Dunia Abu-abu

December 23, 2022 | Dilihat 221 | Author soksiber
TRAUMA POLITIK BANGSA copy

Masuk ke “dunia abu-abu,” Adjan Sudjana “menggaris-merahi” kehidupannya, dengan menjadi aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Aktif meliput kejadian sebelum dan setelah peristiwa-peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh prajurit TNI oleh PKI pada tahun 1965. Tatkala Indonesia memang abu-abu, tak jelas.

Di mata seorang aktivis pers mahasiswa, abu-abu itu adalah dilemma. Mereka mempertaruhkan dirinya dalam fenomena, menangkap simbol-simbolnya, meretas dan, merasuk ke kedalamannya, menggelutinya, serta kemudian menuangkannya ke dalam paparan-paparan analisis sekaligus sintetis yang disebut dengan opini. Opini-opinilah yang membuat terang mana yang hitam dan mana yang putih. Sedangkan hitam dan atau putih adalah pertaruhan itu sendiri.

Berawal dari kepeduliannya itu, Adjan Sudjana menampilkan sketsa realitas dunia abu-abu pada bukunya; Trauma Politik Bangsa; PKI dalam Pertarungan Politik dan Kekuasaan; PKI di Jawa Barat Sebelum 1965; Sebuah Retrospeksi Sejarah. Opini-opini buku ini bagaikan sketsa ensiklopedis paradigmatik Bung Karno. 

“Manuver-manuver mereka kasar dan brutal,” tulis Adjan Sudjana menjelaskan politisasi Nasakomisme yang dilakukan anggota-anggota organisasi mahasiswa pro-PKI di kampusnya, dan juga pada kampus-kampus lainnya di Bandung.

Nasakomisasi ala Lenin, yang kasar dan terkesan brutal, sebagaimana layaknya kaum komunis yang membantai keluarga-keluarga bangsawan Rusia, dan bukanlah Masa Aksi atau kaderisasi, yang digagas Tan Malaka ataupun dalam satu kesatuan perjuangan (matchvorming) imbuh Bung Karno yang terinspirasi oleh artikel Masa Aksi Tan Malaka tersebut.

Seperti seniornya di IPMI, A. Rachman Tolleng, dan juga Bonar Siagian dan Chaidir Afif, Awan Karmawan Burhan dan Robert Sutrisno; Alex Rumondor, Lukman Isa, Sugeng Saryadi dan Dadi Pakar; Aswin Harahap; Rohali Sani; Gani Kusuma Subrata dan M. Odjak Siagian; serta Dedi Ardi – merekalah – aktivis-aktivis mahasiswa Bandung yang tak lelap dalam kelamnya politik.

Ujug-ujug, RRI mengumumkan: Dewan Jenderal mau kudeta. Tapi mereka sudah ditangkap. Dan Bung Karno sudah diamankan. Sekarang pimpinan diambil alih oleh Dewan Revolusi, yang dipimpin oleh Letkol Untung. Semua prajurit yang berpangkat Letkol ke atas diturunkan. Bagi yang aktif berjuang Bersama Dewan Revolusi, pangkatnya akan dinaikkan. (lht.  Adjan Sudjana, 2022, hal. 181).

Tidak sulit bagi kita untuk mereka-reka, apalagi bagi aktivis mahasiswa yang sudah memiliki jam terbang menghadapi intimidasi antek-antek pro-PKI di kampus mereka masing-masing, pelakunya tentu PKI. Dikarenakan intuisinya (naluri), semakin tajam terasah tantangan. Mereka tahu, ada udang dibalik batu.

Hari itu juga, tanggal 1 Oktober tahun 1965, pada malam harinya mereka menandatangani pernyataan menolak Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Kolonel Untung. Hanya mereka yang berempat belas orang itulah yang menghentak. Mereka yang berpikir dengan hati. Tanpa data dan tak ada informasi, semua masih gelap.

Jadi dari mana datangnya usik, kéréteug haté, atau tentang laku (lakon), tentang consciousness (kesadaran), tentang conscience (kata hati); jelas asalnya bukan dari paparan mekanis bahasa Indonesia tetapi dialektika tradisional yang eksistensialnya merebak (emanate)  dari “bahasa ibu” mereka masing-masing. Karena tidak semua dari mereka yang berempat belas itu orang Sunda, yang jelas mereka adalah Ki Sunda.

Mereka berasal dari suku bangsa nusantara yang berbeda-beda, lalu satu hati, senasib dan sepenanggungan kendati rasa, bahasa dan dialek dari tradisi mereka masing-masinglah yang membuat mereka sadar akan hitam putihnya dunia. Suatu tentang dialektika yang tak termaktub dalam kamus dialektika materialisme, tentu saja.

Ini buku tentang kepedulian, laku, ataupun lalakon mahasiswa Bandung yang tersentak, merasa terusik tatkala norma ulah ganggu kata orang Sunda itu, diacak-acak. Jadi weh ngalalakon. [Abo]

Posted in

Baca Juga

News Feed

Pesta Rakyat dan Pentas Siliwangi

Siswa-siswi SMPS/SMAS IT Al-Gofar Bandung bersama Sertu Adi Prayitno Babinsa (Bintara Pembina Desa) Kampung Cisanggarung…

Usik SOKSI

“Kita itu punya nyali,” demikian jelas Pak Hardiman pada Majalah Tokoh Indonesia, ketika menguraikan dinamika…

Golongan Fungsional

Golongan funsional itu adalah akibat, bukan sebab. Akibat yang muncul disebabkan Anggota-anggota DPR hasil Pemilu…

Feature

rt1

Berita

Visitor

Online : 2
Today : 13
Yesterday : 13
Total : 5786