Politik Kebangsaan Indonesia Raya Menyongsong Indonesia Emas

Sukarnois

January 20, 2023 | Dilihat 93 | Author soksiber
(Chairul Saleh Mantan Ketua MPRS Pertama)  


 
 https://www.liputan6.com/news/read/6627/chairul-saleh-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasional
(Chairul Saleh Mantan Ketua MPRS Pertama) https://www.liputan6.com/news/read/6627/chairul-saleh-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasional

Sukarnois yang abu-abu, yang belum mengenal hitam putihnya politik, bak mahasiswa yang hanya tahu hitam putihnya dunia. Politik bagi mereka adalah abu-abu, yang mesti diretas tidak hanya dengan keingintahuan (curiosity), lebih dari itu, di dalam pelakonan.

Dwitunggal Sukarno-Hatta, antara periang dan pendiam, dan Bung Karno yang periang ataupun atraktif tentu lebih dikenal. Amanat Penderitaan Rakyat adalah kata-kata dari Bung Karno yang dikenal mahasiswa Bandung Daim A. Rachim dan Mohammad Ta’lam Tachya. Tak ada salahnya bila mereka disebut Sukarnois.

Apalagi mereka bukan pewaris Azimat Revolusi. Ampera adalah pilihan bebasaktivis-aktivis mahasiswa Bandung. Buah dari nurani mereka yang memang di didik bebas tanpa kekangan, kecuali pada nurani mereka sendiri. Itulah hati nurani rakyat, mengimbuhikonsepsi Ampera yang di usung Angkatan ’66.

Bersumber dari inspirasi yang sama, Ampera dan Hanura di Jakarta mencuat apa yang terkenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Retool (bubarkan) Kabinet Dwikora. Lagi pula tidak satu patah kata pun yang tercuat yang menandakan anti-Sukarnoisme. Mereka cinta Proklamator.

Menjernihkan kembali karisma avataris (penitisan) dari Bung Karno. Begitu kilah yang kita dengar dari aktivis-aktivis Mahasiswa Angkatan ’66. Paradoks Angkatan ’66, demikian jika boleh disebut.

Paradoks kenegarawanan, yang di ujung milenial ke-2 juga ditemukan pada diri Gus Dur– seorang wali – dan bahwa pada sosok-sosok negarawan seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution adalah gambaran paradoks-paradoks itu sendiri.

Dari berbagai perspektif yang berbeda-beda, polah (mode) dari tradisi dan agama tersebut muncul pada sosok mahasiswa ITB Siswono Yudohusodo. Paradoks, sesuatu yang simbolis, menyampaikan apa yang tersirat ketimbang memampangkan apa yang tersurat, dimana logika tidak lebih dari sekedar kendaraan di dalam mengamati suatu peristiwa.

Menjèngkelkan, itu pastinya yang ada dalam benak Bung Karno. “Ada apa ribut-ribut di luar,” tanya Bung Karno kepada Suhardiman, Ketua Umum SOKSI. “Demontrasi mahasiswa Pak, meminta Bapak berhenti menjadi presiden,” jawab Suhardiman. “Ya ga bisa dong, saya diangkat olèh MPRS dan MPRS yang bisa memberhentikan saya,” tegas Bung Karno.

Jawaban bijak yang jauh berbeda dengan pidatonya pada 17 Agustus tahun 1966.

Tapi Putera Sang Fajar itu, yakni Bung Karno, ketika hari semakin terang dan matahari semakin terik, romantis merevolusi memang mesti dihadapkan pada realitas Tritura.

Tiga orang Sukarnois, Mayjen Basuki Rachmat Menteri Urusan Veteran dan Demobilisan, BrigjenM. Yusuf Menteri Perindustrian, Brigjen Amir Machmud Pangdam V/Jaya, datang menghadap Bung Karno di istana Bogor. Menemui presiden tanpa protokoler yang ketat. Orang-orang kepercayaan Bung Karno dari golongan fungsional ini datang tentu atas seizin MenPangad Letjen Suharto.

Mereka kembali dengan membawa Supersemar yang ditujukan kepada Letjen Suharto. Isinya memenuhi satu dari tiga tuntutan mahasiswa – Tritura – bubarkan PKI. Kendati demikian masih ada Sukarnois-sukarnois lain yang membuat Angkatan ’66 Bandung kembali bergolak. Mereka menduduki Gedung MPRS yang kini disebut Gedung Merdeka itu.

Rumor Angkatan Darat akan menyerang  Istana mengakibatkan perseteruan antar angkatan dalam tubuh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) mampu diredam Jenderal Besar Nasution.

Tiga Jenderal Besar, yakni Sudirman, Nasution dan Suharto adalah loyalis-loyalis Bung Karno. Sudirman, loyalis yang kesetiannya kepada pimpinan – Presiden – mampu mengendalikan gejolak berikutnya yang akan timbul dari Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka.

Nasution tampil sebagai Ketua MPRS yang pada tahun 1967 mampu memberikan jalan yang terbaik demi ketertiban dan keamanan Nasional.

Adapun Bung Karno dan Pak Harto ibarat pemain-pemain sepakbola yang menderita disoraki penonton. [Abo]

Posted in

Baca Juga

News Feed

Pesta Rakyat dan Pentas Siliwangi

Siswa-siswi SMPS/SMAS IT Al-Gofar Bandung bersama Sertu Adi Prayitno Babinsa (Bintara Pembina Desa) Kampung Cisanggarung…

Usik SOKSI

“Kita itu punya nyali,” demikian jelas Pak Hardiman pada Majalah Tokoh Indonesia, ketika menguraikan dinamika…

Golongan Fungsional

Golongan funsional itu adalah akibat, bukan sebab. Akibat yang muncul disebabkan Anggota-anggota DPR hasil Pemilu…

Feature

rt1

Berita

Visitor

Online : 9
Today : 31
Yesterday : 31
Total : 5804